NURCHOLISH MADJID DAN
SEKULARISASI
SEBUAH
FENOMENOLOGI
AGAMA
Oleh: Ifqi Ulfa Luthfiana
A. Pendahuluan
Diskusi agama sebagai objek kajian
filsafat sebenarnya dimulai oleh
Hegel pada awal abad ke-19. Sejak itu banyak pemikir
mulai menaruh minat pada studi-studi agama tentang agama, yang awal mulanya studi agama lebih
bersifat a priori dan metafisik,
dengan mengolah konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran agama. Kemudian minat para filosuf terutama
adalah menangkap apakah
hakekat agama. Tetapi dengan
latar belakang kemajuan ilmu-ilmu positif yang sedang marak saat itu, agama mulai dinilai sebagai warisan budaya
manusia yang belum kritis, khayalan manusia yang terasing dari dunianya,
sublimasi dari keinginan keinginan manusia yang tidak kesampaian dan sebagainya. Kritik
agama yang bersifat metafisik
ini kemudian diimbangi oleh ilmu-ilmu antropologi, etnologi, sosiologi dan
filologi yang bergerak dalam penyelidikan suku-suku primitive.[1]
Namun dalam
perkembangannya pendekatan dalam studi Islam telah
menjadi perhatian banyak islamicists (sarjana
di bidang Studi Islam atau Islamic
Studies). Pada awalnya, studi Islam hanya memperoleh tempat yang sangat terbatas
dan hanya dikaji dalam konteks history of
religions, coparative study of religion atau religions wissenschaft pada umumnya. Model pemahaman terhadap agama
lebih banyak menggunakan analisis tektual (textual
analysis). Dewasa ini, kemudian muncul berbagai pendekatan baru yang memberikan peluang
bagi tumbuhnya pemahaman
(understanding) yang lebih komprehensif terhadap agama
Islam.[2]
Menjadi
diskursus tersendiri membahas bagaimana seorang cendikiawan muslim kontemporer
mengajukan gagasan keilmuan untuk kemajuan umat islam Indonesia, melihat
bagaimana konsep sekularisasi dalam Pemikiran Nurcholish Madjid,[3] dalam
wacana Nurcholish Madjid terkait Sekularisasi, penulis ingin mendiskusikan
wacana yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi,, melihat
lokal kultural dari Indonesia serta sosial politik, maka tentunya ada banyak cara
pandang masing-masing negara merespon wacana-wacana pembaharuan dalam pemikiran
islam seperti melihat studi agama adalah dapat teridentifakasi menjadi
fenomenologi agama.
B. Tanggapan Cendekiawan Muslim Indonesia
terhadap Ide
Sekularisasi Nurcholish Madjid Pembahasan
1.
Pemikiran
Nurcholish Madjid Terkait
Sekularisasi
Di Indonesia pemikiran
Nurcholish Madjid dikenal sebagai penarik gerbong pembaharu pemikiran Islam di
Indonesia. Oleh pengamat Islam kontemporer, gagasannya dianggap sebagai
paradigma intelektual gerakan pembaruan teologis di Indonesia.[4]
Para intelektual Indonesia dikejutkan oleh Nurcholish
dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki yang berjudul “Keharusan Pembaruan
dalam Islam dan Masalah Integrasi Ummat”, pada tahun 1970-an, inti dari pidato
Nurcholish tersebut adalah kegelisahan intelektual Nurcholish melihat kebuntuan
pemikiran umat Islam di Indonesia dan hilangnya kekuatan daya dobrak psikologis
dalam perjuangan mereka. Kemandegan itu ia lihat dari bagaimana umat Islam
tidak bisa membedakan hal yang bersifat transenden dan temporal. Bahkan umat
Islam kadang menempatkan nilai-nilai temporal menjadi nilai transenden,
begitupun sebaliknya.[5]
Maka solusi yang diinginkan Nurcholish agar pembaruan pemikiran merupakan cara
yang harus ditempuh untuk keluar dari statis berpikir tersebut.
Salah satu gagasan yang sering menjadi kritik
tersebut adalah ide sekularisasi. Menurut
para pengkritiknya bahwa ide sekularisasi dapat menjadi hal yang berbahaya bagi
akidah umat Islam karena merupakan gagasan yang berasal dari Barat. Selain itu
ide sekularisasi dianggap memisahkan dunia dan akhirat padahal dalam Islam
tidak mengenal konsep tersebut. Namun
sekularisasi menurut Nurcholish tidak demikian. Ia mengatakan bahwa
sekularisasi tidaklah
bermaksud sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi
sekularis. Namun ini dimaksudkan agar umat Islam menduaniawikan hal-hal yang
mestinya bersifat duniawi dan melepaskan kecenderungan untuk meng- ukhrawikan-nya.[6]
Ide Sekularisasi Nurcholish Madjid dimulai dari pemahamannya terhadap dua
prinsip dasar Islam yaitu prinsip tauhid dan konsep manusia sebagai khalifah.
Berangkat dari kedua premis tersebut Nurcholish berargumen bahwa Allah yang
harus ditransendenkan dan memiliki kebenaran mutlak. Sebagai konsekuensi dari
pemahaman tauhid seperti itu maka umat Islam seharusnya memandang persoalan
keduniaan yang temporal (sosial, politik, kultural) seperti apa adanya. Karena
memandang segala sesuatu yang ada di dunia dengan cara pandang transenden
secara teologis dapat dianggap sebagi sesuatu yang menentang prinsip monoteisme
Islam.[7]
Nurcholish
Madjid banyak menyampaikan gagasan yang
dianggap kontroversial yakni gagasan “sekularisasi”. Dalam makalah pembaruan
pemikiran yang disampaikan pada tahun 1970, Konsep ini sebenarnya banyak
meminjam istilah dari Harvey
Cox seorang teolog berkebangsaan Amerika Serikat yang cukup dihormati. Diskursus magnum
opusnya The secular city, Harvey Cox
mendefinisikan sekularisasi sebagai pembebasan manusia dari ajaran
agama dan metafisika, peralihan perhatiannya dari dunia-dunia lain kepada dunia saat
ini. Meski demikian sekularisasi menurut Cox berbeda dengan konsep sekularisme. Menurutnya sekularisme merupakan
doktrin dan ideologi yang tertutup dan hampir menjadi
kepercayaan dan agama baru. Sedangkan konsep sekularisasi mengimplikasikan
sebuah proses kesejarahan. Sehingga sekularisasi pada dasarnya adalah sebuah perkembangan yang mengandaikan pembebasan manusia.[8]
Konsep Sekularisasi
Nurcholish Madjid kemudian mendapat kritik keras, sebagian besar kritik itu dipicu karena
penggunaan istilah “sekularisasi”. Sejak dekade 1980-an Nurcholish tetap
konsisten dengan subtansi gagasan tersebut, meski pada akhirnya Nurcholish Madjid merevisi istilah “sekularisasi”
menjadi “desakralisasi” atau “devaluasi radikal”. Pandangan ini dipengaruhi
oleh Talcott Parson dan Robert N. Bellah. Menurut Bellah, paham devaluasi
radikal mempunyai kaitan dengan proses awal umat Islam. Bahkan lebih lanjut,
paham ini merupakan salah satu struktur penting di masa nabi Muhammad ketika
beliau membangun masyarakat Madinah. Bellah beranggapan bahwa devaluasi dapat
disebut sebagai sekularisasi terhadap semua struktur sosial yang ada dihadapan
Tuhan-manusia yang menjadi pusat ini. Diatas segalanya ini berarti dihapuskannya
ikatan-ikatan kekerabatan yang sudah lama menjadi lokus utama dari yang sakral
di dunia Arab pra-Islam.[9] Nurcholish juga salah satu pemikir Islam modern yang menolak pendapat tentang perlunya
menyatukan agama dan negara dalam bentuk hukum positif. Hal ini terlihat ketika
pada masa dimana munculnya isu pembentukan negara Islam pada era tahun 70-an.
Ketika itu muncul kembali gagasan untuk kembali mewujudkan negara Islam dan
kembali ke Piagam Jakarta melalui Masyumi. Pembahasan mengenai hubungan negara
dan agama (khususnya Islam) pada saat itu cukup banyak dipersoalkan. Namun
Nurcholish yang juga dekat dengan tokoh Masyumi tidak sepakat dengan ide
tentang penyatuan negara dan agama. Ia bahkan sering menyebut pihak yang selalu
berambisi mencita-citakan negara Islam sebagai orang yang berapologi semata.[10]
2.
Respon yang
dihadirkan oleh gagasan
Nurcholish mengundang reaksi
kalangan intelektual muda dan kalangan tua, antara lain Endang Syaifuddin
Anshari, Ismail Hasan, dan Abdul Qadir Djaelani dari kalangan muda. Sedangkan dari kalangan tua seperti H.M.
Rasyidi, Muhammad Natsir dan Hamka. Misalnya Abdul Qadir Djaelani dari kalangan
muda mengatakan bahwa Nurcholish hendak menganjurkan paham sekuler yang
bertentangan dengan Islam. Padahal menurutnya Islam tidak sejalan dengan
sekularisme tersebut. Endang syaifuddin
Ansari (meski dalam beberapa hal sepakat dengan Nurcholish) juga berpendapat
bahwa memang di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan konsep negara Islam, akan
tetapi mengingkari bahwa al-Qur’an memberikan kaidah tentang kenegaraan
merupakan distorsi besar. Endang menanggapi bahwa seolah-olah Nurcholish ingin
membuktikan bahwa setiap usaha umat Islam untuk menuju kekuasaan dianggap
sebuah dosa besar.[11] Namun
sebaliknya Nurcholish lebih memilih santai dan tidak menanggapi secara
serius. Hal itu dilakukan untuk menghindari polemik yang berkepanjangan, belum
lagi melihat realitas masih banyak yang tidak bisa memahami ide pembaruan yang
digagasnya, terbukti dari banyaknya tanggapan kemarahan dan kecurigaan karena
tidak bisa memahami gagasan pembaruan tersebut. Nurcholish bahkan dianggap
sudah dianggap melenceng dan murtad, bahkan ada banyak ancaman yang dihadapinya.[12]
Dari pengamatan
penulis realitas yang terjadi menunjukkan adanya dinamika internal dari
kalangan umat Islam bagaimana menerjemahkan Islam dalam upaya merespon berbagai
masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Maksud dan tujuan para pemikir Islam
sama, yaitu ingin menunjukkkan kontribusi Islam sebagai salah satu alternatif
dalam memecahkan berbagain persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini. Selain
itu, adanya kenyataan dan realita yang memungkinkan bahwa Islam merupakan
sebuah agama yang dapat dikaji dan dilihat dari sisi manapun, dan dari setiap
sisi akan menghasilkan pandangan yang berbeda dengan yang lain.
3. Refleksi Terhadap Gagasan
Sekularisasi Nurcholish Madjid (Kasus Hubungan Islam dan Negara)
Dalam artikelnya yang berjudul
“rasionalisasi bukan westernisasi”, Nurcholish modernisasi adalah rasionalisasi
yang didalamnya terkandung makna kemajuan dan perombakan pola pikir yang maju.
Proses modernisasi tersebut menurutnya bisa dimungkinkan dengan syarat
penguasaan ilmu pengetahuan. Nurcholish bahkan mengatakan bagi seorang muslim
bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, karena pada dasarnya modernisasi
berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah dan sesuai dengan sunnatullah yang haqq. Menjadi modern berarti
mengembangkan kemampuan berpikir yang diberikan oleh Tuhan, berpikir dinamis
dan progresif. Namun Nurcholish juga menekankan bahwa yang dimaksud modernisasi
bukanlah westernisasi atau meniru gaya hidup Barat. Ia hanya sepakat pada aspek spirit
dari modernisasi yaitu semangat kemajuan berpikir.[13]
Gagasan Nurcholish
tentang modernisasi mengaindaikan beberapa hal termasuk tentang perlunya
sekularisasi. Sebagaimana yang sering dijelaskan bahwa sekularisasi tentu
bukanlah sekularisme sebagaimana yang menjadi ideologi di Barat. Akan tetapi
maksud dari sekularisasi yang dimaksud Nurcholish adalah sebagai bentuk
liberalisasi dalam makna pembebasan manusia dari pandangan keliru yang sudah
mapan. Dan sekali lagi sekularisasi bukanlah penerapan sekularisme.
Dalam melihat pola
hubungan agama dan negara dalam konteks sekarang ini setidaknya ada tiga model
pendekatan yakni integrated (penyatuan
agama dan negara), intersectional
(persinggungan agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan agama dan
negara).[14]
Di era modern sendiri (khususnya di negara-negara Barat) hubungan agama dan
negara dianggap sudah selesai dengan menganut prinsip sekularistik yakni urusan
agama dibedakan dengan negara. Sementara di beberapa negara menganut prinsip
integralistik dimana agama dan negara tidak dipisahkan satu sama lain. Prinsip
tersebut diterapkan di beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia
atau Iran. Sedangkan negara yang menganut prinsip integralistik seperti di
Indonesia sendiri, meskipun banyak pendapat mengatakan bahwa Indonesia adalah
negara sekuler karena secara jelas memisahkan wilayah agama dan negara. Hal itu
karena Indonesia sendiri adalah negara yang secara konstitusional tidak
menganut penyatuan agama dan negara. Kesepakatan pendiri bangsa ini pada awal
pembentukan dengan jelas menghasilkan konsensus tentang dasar negara. Sehingga
meskipun melalui proses perdebatan yang begitu panjang, negara dengan tegas
dinyatakan bukan negara yang berdasar agama tertentu.
Pandangan tersebut
selain terlihat tidak relevan dengan konteks saat ini, juga hal itu dipandang
menghabiskan banyak energi. Seperti diketahui bahwa perdebatan tersebut sudah
muncul ketika masa awal kemerdekaan dimana terjadi perdebatan sengit antara
kubu nasionalis sekuler yang diwakili Soekarno dan nasionalis religius yang
diwakili Muhammad Natsir dalam sidang BPUPKI. Namun hasil perdebatan itu
diakhiri dengan kesepakatan bahwa negara tidak berdasarkan satu agama tertentu,
karena melihat pluralitas yang ada di Indonesia pada saat itu. Selain itu
muncul pula ancaman dari berbagai daerah yang mayoritas menganut agama tertentu
yang mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia jika negara hanya berdasar
satu agama tertentu. Hal-hal tersebut menjadi perhatian bagi tokoh nasional
pada saat itu sehingga penetapan dasar negara berdasar pluralitas yang
tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 terwujud.[15]
Sekularisasi
menurut Nurcholish Madjid pada dasarnya tidak sama dengan konsep sekularisme,
tapi dalam hal ini sekularisasi yang dimaksud adalah bentuk liberating depelompent dan proses
pembebasan. Hal ini dibutuhkan umat Islam karena dalam perkembangannya tidak
sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami mana yang tansenden
mana yang temporal. Demikian juga sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai
penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis. Tapi
menduniawikan hal yang sifatnya duniawi dan melepaskan Islam dari kecenderungan
mengukhrawikannya.
Ide sekularisasi
Nurcholish sebenarnya ditujukan untuk merespon persoalan politik Indonesia pada
tahun 1970-an. Hal ini utamanya karena umat Islam tidak lagi mampu membedakan
mana urusan agama dan negara. Sebagian elit politik saat itu kembali menggagas
ide pembentukan negara Islam yang menurut Nurcholish, gagasan negara Islam
merupakan sebuah bentuk apologi umat Islam dalam menghadapi ideologi Barat
seperti Demokrasi, Sosialisme, Komunisme, Liberalisme dan lain-lain. Ideologi
tersebut mempunyai pengaruh sedemikian besar di berbagai negara sehingga umat
Islam merasa khawatir dan melakukan counter terhadap ideologi tersebut dengan
menawarkan alternatif “negara Islam” meskipun secara konseptual masih abstrak.
Menurutnya cita- cita negara Islam tidak ada dalam Al-Qur’an atau Hadis secara
konkrit, namun hanya penjelasan tentang bagaimana nilai-nilai Islam harus
dijalankan. Ia kemudian menekankan perlunya rasionalisasi khususnya dalam
pengambilan keputusan yang bersifat konsensus-kenegaraan.
Indonesia sendiri, bagaimana wajah pemikiran Islam
dapat dilihat dari karya-karya Harun Nasution yang banyak menggunakan pendekatan
filsafat dan Historis. Apa yang digambarkan oleh Harun Nasution dikritik oleh H.M. Rasyidi
dengan pendekatan normatif
legalistik, Islam dinilai
kurang menunjukkan potret Islam
yang sesungguhnya dan yang sebenarnya sebagaimana yang diinginkan oleh al-Qur`an dan Hadis.
Kemudian muncul studi Islam versi Nurcholis Majid,
dan versi Endang
Saefuddin, dan masih banyak pemikir-pemikir yang lain. Pada tahuhn 1993,
Nurcholish Madjid dicela sebagai a
Teosofis, agen Zionisme dan sekutu Orientalisme, seorang murtad, merupakan
musuh Islam yang berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Oleh karena itu ia
harus dikeluarkan dari komunias Islam.[16] Sehingga pada dasarnya menurut hemat penulis
bahwa yang dihadapi oleh Nurcholish Madjid dengan banyaknya kritikan dari para
sarjana Muslim dengan menggunakan berbagai pendekatan tersebut dapat digunakan
sebagai bahan untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak untuk
diperdebatkan apalagi untuk saling
menyalahkan antara yang satu dengan
yang lainnya, melainkan untuk menemukan sisi-sisi persamaannya demi kepentingan
dan kemaslahatan umat manusia pada umumnya dan untuk keperluan dan kepentingan
studi Islam khususnya.
Dari berbagai referensi tentang Islam
yang ditulis oleh para sarjana dan pengkaji Islam di atas, dapat disimpulkan
bahwa Islam memiliki karakteristik yang khas yang memungkinkann untuk dikenali
melalui konsepsinya dalam berbagai bidang, seperti bidang agama, ibadah,
kemanusiaan yang di dalamnya mencakup bidang pendidikan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup kesehatan, pekerjaan,
dan Islam sebagai sebuah disiplin keilmuan.[17]
Dalam hal ini penulis menyepakati bahwa fenomena masalah yang diantarkan oleh Nurcholish
Madjid memperkuat apa yang
disampaikan oleh Amin Abdullah bahwa studi Islam pada abad 11-12 dilakukan
dengan pendekatan Fiqih, Kalam, Filsafat, Tasawuf. Pada abad 19-20 studi Islam
dihubungkan dengan Religious Studies,
Humanities, dan Social Studies dengan menggunakan pendekatan psikologi,
historis, dan fenomenologi. Kemudian, ia lebih lanjut menggambarkan bahwa pola
keragaman masyarakat bila diamati mencerminkan hal-hal sebagai berikut, yaitu
pola keberagamaan yang sehat dengan optimis,
ekstovet, dan gradual serta pola keberagamaan yang sakit dengan ciri
pesimis, merasa tersaingi, introver (menutup diri), dan instan. Oleh karena
itu, pemahaman (vestehen) agama harus mengacu pada dua sisi. Pertama, The comprehenship of Ideas, Intuition, and Feeling of People yang akan
menggambarkan The Common Pattern and The
Universal of Human Religiousity (universal dan filosofis). Kedua, The
Emperical Manifestation of Culture yang akan menggambarkan The Unique Pattern, The Particular way of Human Religiousness (Historical-Empirical-Autonomy).[18]
4.
Diskursus
Fenomenologi Agama
Terhitung
dari perkembangan dalam studi Islam dan problem metodologis, maka studi Islam
harus mempertimbangkan pendekatan baru yang memungkinkan munculnya pemahaman
yang lebih komprehensif terhadap Islam. Melihat agama Islam dikaji dengan
meletakkannya pada posisi hasil pemikiran ulama dan dilihatnya secara
interdisipliner, maka apa yang disampaikan Atho Mudzhar, dengan gejala budaya
dan sosial yang pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama.[19]
Maka pengunaan teori-teori ilmu sosial dan kemanusiaan dalam kajian Islam
menjadi keniscayaan untuk menghasilkan model atau konstruk pemikiran keislaman
yang sesuai dengan perkembangan kontemporer ilmu pengetahuan.
Khun menjelaskan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif tetapi secara revolusi.
Menurutnya, ketika kumulatif memainkan peranan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting dalam ilmu pengetahuan itu terjadi sebagai akibat dari revolusi yang ia
gambarkan sebagai berikut:
Paradigm I Normal Sc AnomalieCrisis Revolotion Paradigm.[20] Inilah yang mungkin dapat disebut sebagai
perlunya pergeseran paradigma
(paradigm shift) dalam studi Islam.
Perlunya pergeseran atau perubahan paradigma
didasarkan pada fakta bahwa pendekatan ilmu keislaman tradisional tidak cukup
mampu untuk menggambarkan dinamika keimanan dan ekspresi kultural keagamaan dan intelektual Islam.
Pembacaan terhadap tradisi
keagamaan yang sangat
dinamais dan kompleks membutuhkan perangkat-perangkat konseptual dan
teoritis dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Lebih-lebih dalam manifestasi
Islam tidak hanya dalam potret pada teks suci, tetapi juga pada simbul- simbul yang diproduksi dan
direproduksi terus menerus oleh kaum Muslim.
Namun, dengan adanya kesadaran untuk
memahami tradisi sendiri atau tradisi orang lain secara empatik, perubahan
paradigma tersebut niscaya akan menghasilkan konvergensi epistemologis.
Meskipun hal ini sulit untuk dicapai, karena akan cenderung memunculkan sebuah
epistemologi yang lebih dominan, maka setidak-tidaknya kesadaran
baru itu akan menghasilkan dialog
secara dialektis dan gerak
melingkar (circular movement) antara
berbagai paradigma, epistemologi, teori atau pendekatan yang selama ini berkembang
dalam tradisi keilmuan kontemporer.[21]
Pendekatan histroris dan filososfis saja tidak memadai,
karenanya para sarjana
menawarkan untuk mengkaji
agama secara substansional suatu pendekatan yang memungkinkan agama menunjukkan
ekspresi otentiknya tanpa intervensi nilai-nilai personal dari para sarjana
peneliti agama.[22]
Hal inilah yang mendorong tumbuhnya pendekatan baru dalam studi agama-agama,
termasuk Islam, yaitu pendekatan fenomenologi.
Fenomenologi agama, dengan penekanannya
pada pengalaman religius, mengenali makhluk religius tidaklah serupa dengan
belajar agama. Ada yang lebih dulu, utama, atau tingkat mendasar tentang
pengalaman religius bagi yang percaya religius. Fenomenologi dan pendekatan
ilmiah lainnya selalu melibatkan beberapa perbedaan antara sarjana dan subjek
materi penting bagi refleksi kritis, analisis, interpretasi, dan mencoba
melakukan verifikasi penemuan. Ilmuwan tidak sependapat atas hubungan antara
menjadi religius dan belajar agama. Bagaimanapun, semua setuju bahwa studi ilmiah
itu tidaklah serupa dengan menjadi religius atau mempunyai kenikmatan
pengalaman religius.
Para sarjana sudah mencoba untuk
menghimpun data religius dan menginterpretasikan makna gejala religius
selama beribu-ribu tahun.
Hal ini muncul
dari ekspose gejala
religius baru dari ekspedisi
penjelajah, militer dan penaklukan politik,
pekerjaan misionaris religius, dan eksplorasi ekonomi.
Studi lebih awal pada umumnya terbebtuk
oleh self-serving, apologetic, religius, politis, dan asumsi
ekonomi dan penilaian. Komparatif agama sering menjadi
agama kompetitif di mana para sarjana belajar
tentang orang lain dalam rangka demonsrasi superioritas kultur atau agama mereka sendiri. Para ilmuwan jarang mencoba untuk memahami agama
melalui mata orang lain. Dari perspektif fenomenologi agama, studi ilmiah awal
tidak berbuat keseimbangan terhadap gejala religius dari religius lain.[23]
Sedangkan
fenomenologi dan fenomenologi agama lebih luas, lebih self-critical, lebih shophisticated dalam
mengenali kompleksitas, ambiguitas, dan kedalaman model
yang berbeda dari apa
yang diberikan. Fenomenologi jauh lebih sensitif terhadap yang kompleks,
penengah, interaktif, kontektual sesuai dengan situasi tugas fenomenologi.
Allen menggambarkan lima karakteristik fenomenologi filosofis sebagai berikut:
a) Descriptive Nature
Fenomenologi mengarahkan untuk menjadi
ketat, ilmu pengetahuan deskriptif, disiplin, atau pendekatan. Semboyan
fenomenologis ‘Zu den Sachen!’ (kepada
diri mereka sendiri ) menyatakan penentuan untuk menolak teori filosofis dan
konsep intuisi dan diskripsi langsung tentang gejala penampakan pengalaman
langsung. Fenomenologi mencoba untuk menguraikan alam fenomena, cara penampakan
manifestasi mereka, dan struktur esensi pada pondasi bagi pengalaman manusia.
Sebagai bandingan aliran filosofis, yang mempunyai asumsi bahwa rasional adalah
riel dan yang mempunyai suatu keasyikan filosofis dengan rasional pancaindra
dan dengan konseptual analisis, fenomenologi memusatkan perhatiannya pada
akurasi deskripsi total tentang manifestasi dalam pengalaman manusia.
Fenomenologi deskriptif, mencoba untuk menghindari reduksionism dan memusatkan
pada epoche fenomenologis,
mendeskripsikan keanekaragaman, kompleksitas, dan kesempurnaan pengalaman.
b) Antireductionism.
Antireduksionism fenomenologis berkaitan
dengan pembebasan manusia dari dugaan tanpa dikritisi yang menyadarkan mereka
akan spesifikasi dan keaneka ragaman gejala, dengan begitu membiarkan mereka
untuk berfikir luas dan memperdalam pengalaman langsung dan menyediakan
deskripsi yang lebih tentang pengalaman. Hasserl menyerang berbagai format
reduksionism, seperti psikologism, yang mencoba untuk memperoleh hukum logika
dari hukum psikologis dan, yang sangat luas, untuk mereduksi semua gejala ke
fenomena psikilogis. Dalam menentang penyederhanaan yang berlebihan tentang
empirism tradisional dan bentuk reduksionism lain, fenomenolog bertujuan untuk menghubungkan keyakinan dengan fenomena
sebagai fenomena dan menjadi sadar akan gejala yang mengungkapkan
intentionalitas secara utuh.
c) Intentionality
Subjek selalu inten terhadap obyek, dan
intensionalitas mengacu pada properti kesadaran akan kesadaran sesuatu, obyek
intensional. Bagi Hasserl, yang mengadopsi term dari gurunya Franz Brentano,
intensionalitas adalah suatu cara untuk menggambarkan bagaimana kesadaran
membentuk fenomena. Dalam rangka mengidentifikasi, menguraikan, dan
menginterpretasikan arti dari gejala, fenomenolog harus memperhatikan struktur
intensioanal data mereka; kepada struktur intensional tentang kesadaran dengan
referen-referen dan makna yang diharapkan.
d) Bracketing.
Bagi kalangan fenomenolog,
antireduksionis menegaskan atas dasar ireducibility pengalaman yang mereka
alami langsung memerlukan adopsi phenomenological epoche. Term Yunani ini
secara harfiah berarti “abstain” atau “suspension” penilaian dan sering
digambarkan sebagai suatu metoda bracketing (mengurung). Hanya dengan
bracketing penerimaan “natural world” tanpa diuji, bahwa fenomenolog tidak
menyadari fenomena, dengan penggantungan kepercayaan dan penilaian yang tidak
didasarkan pada natural standpoint yang belum diuji. Oleh karena itu,
fenomenolog bisa merasakan pengalaman langsung dan memperoleh pemahaman yang
mendalam terhadap esensi struktur mereka. Kadang-kadang epoche dirumuskan dalam
term tujuan ilmu pengetahuan tanpa presupposisi atau filsafat, tetapi
fenomenolog menginterpretasikan bracketing sebagai tujuan pembebasan
fenomenolog dari dugaan yang belum diuji, atau memberi penjelasan eksplisit dan
klarifikasi presupposisi, dibanding dengan dugaan pengalaman mereka. Epoche
fenomenologis tidak sekedar seperti yang dilakukan oleh fenomenolog, ia harus
melibatkan beberapa metoda self-criticism dan intersubjective untuk menguji
dengan membiarkan pengertian yang mendalam kedalam struktur dan makna.
e) Eidetic Vision
Intuisi esensi, sering diuraikan sebagai
visi eidetic atau reduksi eidetic, hal ini terkait dengan term ‘eidos’, Husserl
mengadopsi dari Platonis yang berarti untuk mengangkat esensi universal.
Sebagaimana ekspresi esensi “whatness” tentang sesuatu perlu invarian yang
memungkinkan untuk mengenali fenomena sebagai bentuk fenomena tertentu.
Karena perbedaan mereka, mayoritas
fenomenolog menegaskan fenomenologi adalah antireductionist, melibatkan
bracketing fenomenologis, memusatkan pada intensionalitas, dan mengarahkan
menuju pengertian yang mendalam terhadap makna dan struktur yang esensi.
Berikut adalah suatu formulasi ringkas prosedur fenomenologis untuk memperoleh
pengertian yang mendalam tentang sruktur dan makna yang esensi.
Dalam intuisi esensi (wesensschau),
fenomenolog memulai dengan data tertentu, fenomena spisifik sebagai ekspresi
pengalaman intentitas. Tujuan pokok metode fenomenologis untuk mengungkap
struktur esensi yang terbentuk dalam data partikular.
Satu keuntungan dengan metode varian
bebas adalah mendapatkan pengertian yang mendalam. Setelah mengumpulkan
berbagai fenomena tertentu, fenomenolog meneliti mencari core invarian yang
mendasari makna fenomena. Fenomena membentuk proses varian bebas, asumsi format
tertentu yang mempertimbangkan aksidental atau irressensial dengan perasaan
bahwa fenomenolog dalam berfikir di luar yang dibatasi format tanpa mengabaikan
karakter dasar atau intensionalitas data tertentu. Sebagai contoh, varian dari
varian yang besar tentang fenomena religius bisa mengunkap bahwa struktur
monotheism yang unik tidak berdasar pada core esensi atau struktur universal
dari semua pengalaman religius.
Fenomenolog secara bertahap melihat
bahwa fenomena mengasumsikan format yang dianggap sebagai hal penting dalam
pengertian bahwa seseorang tidak bisa mengeluarkan atau memindahkan struktur tanpa menggambarkan dasar
‘whatness’ atau intensionalitas data. Sebagai contoh, varian bebas akan dapat
mengungkapkan bahwa struktur intensionalitas transenden tertentu berdasarkan
pada core invariasi dari pengalaman religius. Ketika esensi universal diserap,
fenomenolog memperoleh eidetic atau wessenschau yang utuh. Kalangan fenomenolog
yang menggunakan metode wessenschau mengajukan pandangan bahwa fenomena
historis mempunyai prioritas, bahwa seseorang harus mengganti varian imajinasi
Husserl sebagai varian yang aktual dari data historis, dan fenomena partikular tidak tersusun dari
individu melainkan merupakan sumber konstitusi dan penilaian seseorang.
Mayoritas fenomenolog filosofis tidak memfokuskan pada fenomena religius,
tetapi bahan fenomenologi filosofis dan dalam beberapa hal, metodologi ini, mempunyai
pengaruh besar terhadap
5. Karakteristik Fenomenologi Agama
a.
Comparative
and Systematic Approach
Ada kesepakatan mendalam bahwa
fenomenologi agama bersifat sangat jeneral, pendekatan komparatif menekankan
klasifikasi dan membentuk sistem fenomena agama. Para fenomenolog mampu
mendapatkan kesadaran yang membentuk struktur dan makna esensi hanya setelah
mengkomparasikan sejumlah dokumen yang menggambarkan penyimpangan fenomena
religius.
b.
Emperical Approach
Bleeker, Eliade, dan beberapa
fenomenolog agama menegaskan bahwa mereka memakai
pendekatan empiris yang bebas dari asumsi dan penilaian a priori. Sebagai contoh pendekatan
empiris, selalu mendeskripsikan secara ilmiah dan objektif yang berangkat dari
koleksi dokumen-dokumen keagamaan dan kemudian mendeskripsikan secara benar apa
yang dilahirkan oleh data empiris.
Salah satu akibat yang sering
muncul dari fenomenologi agama adalah hal itu tidak dibangun atas dasar empiris,
oleh karena itu bersifat abritare, subjektif, tidak ilmiah. Ada kritikan yang secara tegas menyatakan bahwa makna dan struktur
universal tidak ditemukan dalam data empiris, oleh karena penemuan-penemuan
fenomenologi tidak tunduk pada test empiris verifikasi.
c.
Historical
Approach
Fenomenologi agama selalu menekankan
tidak hanya pada pendekatan yang harus menyatu dan mendukung riset historis
tetapi juga bahwa fenomenologi agama adalah historis secara mendalam seluruh
data keagamaan bersifat historis; tidak ada fenomena yang difahami diluar
historis mereka. Fenomenolog harus sadar terhadap spisifikasi historis, kultur,
keadaan sosioekonomik dimana fenomena keagamaan muncul.
Ada kritikan pedas bahwa fenomenologi
agama tidak historis, kedua term metode fenomenologis yang mengabaikan historis
spisifik dan kontek kultural dengan memandang sumber primer - secara
metodologis dan juga ontologis - semestinya berpengaruh pada nonhistoris dan
struktur universal nontemporal.
d.
Descriptive Approach.
Mayoritas fenomenolog agama dewasa
ini tidak membatasi dirinya hanya untuk mendeskripsikan fenomena agama. Namun
penganut Kristen menekankan pada alam subjektif sarjana masa lalu dimana interpreter menyaring data lewat
asumsi dan penilaian mereka, fenomenolog berpandangan jauh diluar batas
metodologi deskriptif fenomenologis.
Akan tetapi, kesamaan fenomenolog
yang tidak berubah dalam mengklasifikasi disiplin dan pendekatan mereka tentang
deskripsi fenomenologi agama. Mereka mengklaim bahwa penggunan pendekatan
deskriptif dan pandangan klasifikasi mereka, tipologi, dan struktur sebagai
deskriptif. Ada kalanya para fenomenolog agama membedakan koleksi dan deskripsi
data agama sebagai objektif dan ilmiah, dari interpretasi makna, paling tidak
berupa subjektif dan normatif parsial.
e.
Antireduksionis
Fenomenolog menentang reduksionis
yang enggan melakukan kritik prakonsepsi dan penilaian fenomena yang tidak
diuji, dalam rangka menghubungkan fenomena sederhana sebagai fenomena dan
memberikan deskripsi yang lebih akurat terhadap penilaian di mana fenomena itu
muncul.
Melebihi berbagai macam pendekatan yang
lain, tentang studi agama modern, fenomenolog agama menegaskan bahwa pendekatan
infestigasi data agama sebagai fenomena merupakan kehidupan agama yang fundamental dan tidak dapat
dijabarkan. Otto Eliade
dan kelompoknya mempertahankan antireduksionis secara
tegas dengan melakukan kritikan terhadap pendekatan reduksionis terdahulu. Para
fenomenolog, mengkritik reduksi data agama terhadap keterkaitan perspektif
nonreligius, seperti sosiologi, psikologi, atau ekonomi. Sebagai reduksionis
berargumentasi menghapus spisifikasi, kompleksitas, dan intensionalitas
fenomena agama yang tidak bisa dijabarkan. Upaya keras untuk memahami secara
simpati pengalaman orang lain, fenomenolog harus menghargai intensionalitas
kehidupan agama yang orijinal yang tergambar dalam data.
f.
Autonomy
Hubungan langsung terhadap klaim
antireduksionis tentang irreduciblity
religious dalam identifikasi fenomenologi agama sebagai disiplin dan
pendekatan yang otonom. Bila mana ada model irreducible
yang dibentuk oleh fenomena religius, seseorang harus menggunakan metode
pemahaman khusus yang menjamin alam religius sebagai subjek matter. Seseorang
harus melengkapi interpretasi religius irreducible
dari fenomena religius.
Fenomenologi agama adalah otonom
tetapi tidak self-sufficient. Ia sangat tergantung pada riset historis dan data yang tersedia dalam
filologi, etnologi, psikologi, sosiologi, dan pendekatan lain. Tetapi ia harus
selalu mengintegrasikan kontribusi pendekatan lain dalam perspektif
fenomenologis yang unik.
g.
Intentionality
Fenomenologi menganalisis tindakan
sadar sebagai kesadaran sesuatu dan mengakui bahwa makna itu diberikan dalam
intensionalitas struktur. Untuk mengindentifikasi, mendeskripsi, dan
menginterpretasi makna fenomena religius, ilmuwan harus memperhatikan struktur
intensional data mereka. Bagi Otto, struktur a priori kesadaran religius merupakan kesadaran tentang nominous object yang diharapkan. Teknik
terminologis-psikologis dialek suci Van der Leeuw dan Eliade merupakan metode
untuk menangkap karakteristik manifestasi religius.
Kritikan disampaikan oleh
fenomenolog agama dari pendekatan reduksionis yang tidak melibatkan
intensionalitas fenomena agama yang unik. Pengalaman religius mengungkap
struktur transenden dimana manusia membuktikan referen yang transenden, makna
suci meta empiris supranatural. Bahasa religius memberi poin sendiri di luar
struktur suci dan makna yang melebihi ruang normal, historis, katagoris, dan
analisis yang konseptual. Hal itu adalah kenapa ekspresi religius menjadi
simbul yang tinggi, analogis, metaforis, mistis, allegoris.
Dalam waktu yang sama, tidak ada
referen dan makna intensional yang tidak bisa ditengahi. Intensionalitas selalu
historis, berdasarkan kultur, dan konteks linguistik. Pengalaman dan komunikasi
religius yang penuh makna, referen transenden yang diperlukan harus ditengahi
dan dibawa ke dalam hubungan antar manusia
yang integral dengan ruang yang terbatas, temporal, historis, alam kultural
dengan objek dan makna yang dikehendaki. Inilah alasan kenapa simbolis dalam
kompleks, struktur dan fungsi yang berbeda, adalah penting untuk pernyataan,
pembentukan, komunikasi makna religius intensional. Ungkapan yang diharapkan
simbolis bertindak sebagai jembatan yang dibutuhkan untuk menengahi. Pada satu
sisi, fenomenolog selalu menunjuk referen di luar diri mereka untuk memperoleh
makna transenden. Pada sisi lain, dengan bahasa simbolis untuk menggambarkan
ruang, temporal, natural, dunia historis dari pengalaman mereka mengenai
referen transenden, batasan,
manifestasi suci, untuk mengungkap yang transenden sebagai
immanen, memandang suci secara manusiawi dapat diakses dan dihubungkan
dengan situasi eksistensial partikular.
Intensionalitas religius yang
spisifik memastikan bahwa struktur pengalaman religius, sebaik baik
interpretasi dan pemahaman, akan selalu terbuka (open-ended). Kondisi struktur esensi dari pengalaman religius,
kontruksi teks religius, dan formulasi interpretasi ilmiah memastikan bahwa
pemahaman pengalaman manusia
yang penuh makna perlu diungkap
dalam perspektif intensionalitas terbatas. Sebagai relatif,
kondisional, intensional, prespektif religius selalu merujuk kepada kondisi
luar mereka kepada struktur transenden, kemungkinan yang tidak terbatas untuk
mengungkap ekspresi simbolis, untuk membuka prespektif tertutup, penemuan baru,
kreatif, pengalaman self- transending,
interpretasi dan pemahaman.
h.
Epoche,
Empathy, and Sympathetic Understanding
Dengan mengurung dan menggantungkan
asumsi yang belum diuji dan prakonsepsi, serta penilaian ordinari, kita menjadi
lebih memperhatikan hanya kepada penemuan yang lengkap tentang apa manifestasi
itu dan bagaimana bentuk manifestasi itu. Hal ini memungkinkan akan munculnya
kesadaran dari ekspresi fenomena berdasarkan perspektif, emmotif, imaginatif,
level nonkonseptual dari pengalaman intensional, dengan demikian mengarah
kepada makna baru yang mendalam menuju intensionalitas spisifik capaian
pengalaman yang kongkrit.
Epoche
fenomenologis,
suatu penekanan empati dan pemahaman simpatik, adalah berhubungan dengan
antireduksionis metodologis. Dengan menggantungkan semua praduga pribadi
tentang apa itu riel dan penekanan pada irredusibilitas
religius, fenomenolog mencoba dengan simpatik untuk menempatkan diri mereka
dalam life-world religius dari yang
lain untuk menyerap makna religius dari fenomena pengalaman.
i.
Insight
Into Essential Structures and Meaning
Tidak ada subjek matter yang lebih terpusat ke fenomenologi filosofis dibandingkan analisis reduksi eidetic dan visi eidetic,
intuisi esensi, metode variasi bebas, dan teknik lain untuk mencapai pengertian
yang mendalam tentang struktur dan makna esensi dari fenomena. Sebagai
pembanding, fenomenologi agama, bahkan dalam pengertian spisifik dari
pendekatan yang terkait dengan deskripsi struktur dan makna esensi, selalu
menghindari formulasi metodologis. Secara umum ditemukan bahwa fenomenolog
agama kualifikasi Bleeker bahwa term eidetic
vision dipakai hanya dalam makna figurasi dan mengingatkan bahwa
fenomenologi agama tidak mencapai pertanyaan filosofis metodologis. Hasilnya
adalah munculnya tipologi fenomenologis, struktur universal, dan makna esensi
yang kekuranggannya adalah analisis yang kaku bagaimana fenomenolog hadir untuk
membuktikan fenomena itu.
Fenomenolog mengarahkan ke dalam
intuisi, interpretasi, dan deskripsi esensi dari fenomena religius, tetapi ada
perbedaan yang pantas dipertanyakan apa yang membentuk struktur yang esensi.
Bagi sebagian fenomenolog, struktur
esensi adalah hasil dari generalisasi induktif empiris yang menyatakan sesuatu
properti bahwa fenomena
yang berbeda mempunyai kesamaan (Gutland, 2018). Dalam pengertian terdekat ke
fenomenologi filosofis, esensi mengacu pada kedalaman atau struktur
tersembunyi, yang tidak nampak pada level pengalaman langsung dan harus
diungkap serta dienterpretasi lewat metode fenomenologi. Struktur ini
menjelaskan invarian yang perlu dibiarkan sehingga memungkinkan untuk
menjelaskan fenomena religius dan untuk menyerap fenomena religius sebagai
fenomena bentuk tertentu
KESIMPULAN
Sekularisasi
menurut Nurcholish Madjid pada dasarnya tidak sama dengan konsep sekularisme,
tapi dalam hal ini sekularisasi yang dimaksud ialah bentuk liberating
depelompent dan proses pembebasan. Hal ini diperlukan umat Islam karena dalam
perkembangannya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya
islami mana yang tansenden mana yang temporal. Demikian juga sekularisasi
tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan
mengubah kaum muslim menjadi sekularis. Tapi menduniawikan hal yang sifatnya
duniawi dan melepaskan Islam dari kecenderungan meng-ukhrawi-kannya.
Kemudian yang
dihadapi oleh Nurcholish Madjid dengan banyaknya kritikan dari para
sarjana Muslim
dengan menggunakan berbagai pendekatan tersebut dapat digunakan sebagai bahan
untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak untuk diperdebatkan apalagi untuk
saling menyalahkan antara
yang satu dengan
yang lainnya, melainkan untuk menemukan sisi-sisi persamaannya demi kepentingan
dan kemaslahatan umat manusia pada umumnya dan untuk keperluan dan kepentingan
studi Islam khususnya.
Pendekatan fenomenologi dan fenomenologi agama diharapkan bisa lebih luas, lebih self-critical,
lebih shophisticated dalam mengenali
kompleksitas, ambiguitas, dan kedalaman model yang berbeda dari apa yang
diberikan, jauh lebih sensitif terhadap yang kompleks, penengah, interaktif,
kontektual sesuai dengan situasi tugas fenomenologis.
Harapan tersebut didasarkan pada
karakteristik fenomenologi. Fenomenologi filosofis mempunyai karakteristik yang
bersifat deskriptif (descriptive in
nature), antireduksionis (antireducsionism), bertujuan tertentu
(intentionality), mengurung (bracketing), dan eidetic vision. Sedangkan fenomenologi agama mempunyai
karakteristik yang menggunakan pendekatan komparatif dan sistematik (comparative and systematic approach),
pendekatan empiris (empicical approach), pendekatan kesejarahan (historical
approach), pendekatan deskriptif (descriptive approach), antireduksionis
(antireductionism), otonom (autonomy), bertujuan tertentu (intentionality),
abstain (epoche), empati (empathy), and pemahanan yang sistematis (systematic understanding), dan wawasan
terhadap struktur dan makna penting (insight into essential structures and meanings)
BIBLIOGRAFI
A,
Nata. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers., 2016.
Abaza,
Mona. “Two Intellectuals: The Malaysian S.N. Al-Attas and the Egyptian Mohammed
’Immara, and the Islamization of Knowledge Debate.” Source: Asian Journal of
Social Science and SPECIAL FOCUS: The Internet and Social Change in Asia and
Beyond Vol. 30, No. 2, (2002): 354–83.
Abdullah.
Al-Ta ’wil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma. Penafsiran Kitab Suci.
Al- Jam’ah, 2001.
Abdullah,
Amin. Materi Kuliah Metodologi Studi Islam, 2006.
Allen.
Phenomenology of Religion, t.t.
Anwar,
M. Syafi. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995.
Cox,
Harvey. The secular city. New York: The Macmillan Company, 1966.
Dhavamony,
M. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kansius, 1995.
Effendi,
Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di
Indonesia,. Jakarta: Paramadina, 1998.
Heri,
M. Pengembangan Studi Islam Insider Outsider. Intizar, 22(2), 2016.
Hinnells,
J. R. The Routledge Companion to the Study of Religion,. Great Britain:
Routledge, t.t.
Mona
Abaza. “Intellectuals, Power and Islam in Malaysia : S.N. al-Attas or the
Beacon on the Crest of a Hill.” In: Archipel and L’horizon nousantarien.
Mélanges en hommage à Denys Lombard volume 58 and (Volume III) (1999): 189–217.
Mudzhar.
Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Nurcholish,
Madjid. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Jakarta: Paramadina, 1998.
Prinsip
tauhid Nurcholish ini banyak dipengaruhi ketika ia berkunjung ke Saudi
yang berpaham teologi wahabi. Menurutnya
orientasi umat Islam pada wahabi sangat semangat dalam melakukan pemurnian
sehingga tidakk ada sesuatu yang sakral selain Allah.,
t.t.
Ritzer,
G. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,. Terj. Alimandan.
Jakarta : PT Raja Grafindo, 2004.
Sholeh,
F. “Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Islam.” Jurnal
Qolamuna No 1(2) (2016): 352.
Syadzali,
Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Syafi’I
Maarif, Ahmad. Islam dan Pancasila Sebagai Asas Negara. Jakarta: LP3ES,
1998.
Woodward,
M. “Islamic And Religious Studies: Challenges and Opportunities for
Twenty-First Century Indonesia.” Journal of Indoenesian Islam No 1, 7.
(2009).
[4] Bahtiar Effendi, Islam
dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia,
(Jakarta: Paramadina, 1998), 21.
[7] Prinsip tauhid
Nurcholish ini banyak dipengaruhi ketika ia berkunjung ke Saudi yang berpaham teologi wahabi. Menurutnya orientasi
umat Islam pada wahabi sangat semangat dalam melakukan pemurnian sehingga
tidakk ada sesuatu yang sakral selain Allah., t.t.
[10] M. Syafi Anwar, Pemikiran
dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde
Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), 56.
[16] M Woodward,
“Islamic And Religious Studies: Challenges and Opportunities for Twenty-First
Century Indonesia.,” Journal of Indoenesian Islam No 1, 7. (2009): 7.
[20] G Ritzer, Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Terj. Alimandan. Jakarta : PT Raja
Grafindo, 2004), 4.
[21] Abdullah, Al-Ta
’wil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma (Penafsiran Kitab Suci. Al-
Jam’ah, 2001), 39(2), 359–391.
[22] F Sholeh,
“Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Islam,” Jurnal Qolamuna
No 1(2) (2016): 352.
[23] Hinnells, J. R., The
Routledge Companion to the Study of Religion, (Great Britain: Routledge,
t.t.), 186–187.
[24]
Allen, Phenomenology of Religion,
t.t., 196–97.