Senin, 06 April 2020

Nurcholish Madjid dan Sekularisasi Sebuah FenomenologinAgama




NURCHOLISH MADJID DAN SEKULARISASI
SEBUAH FENOMENOLOGI AGAMA
Oleh: Ifqi Ulfa Luthfiana

A.  Pendahuluan
Diskusi agama sebagai objek kajian filsafat sebenarnya dimulai oleh Hegel pada awal abad ke-19. Sejak itu banyak pemikir mulai menaruh minat pada studi-studi agama tentang agama, yang awal mulanya studi agama lebih bersifat a priori dan metafisik, dengan mengolah konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran agama. Kemudian minat para filosuf terutama adalah menangkap apakah hakekat agama. Tetapi dengan latar belakang kemajuan ilmu-ilmu positif yang sedang marak saat itu, agama mulai dinilai sebagai warisan budaya manusia yang belum kritis, khayalan manusia yang terasing dari dunianya, sublimasi dari keinginan keinginan manusia yang tidak kesampaian dan sebagainya. Kritik agama yang bersifat metafisik ini kemudian diimbangi oleh ilmu-ilmu antropologi, etnologi, sosiologi dan filologi yang bergerak dalam penyelidikan suku-suku primitive.[1]
Namun dalam perkembangannya pendekatan dalam studi Islam telah menjadi perhatian banyak islamicists (sarjana di bidang Studi Islam atau Islamic Studies). Pada awalnya, studi Islam hanya memperoleh tempat yang sangat terbatas dan hanya dikaji dalam konteks history of religions, coparative study of religion atau religions wissenschaft pada umumnya. Model pemahaman terhadap agama lebih banyak menggunakan analisis tektual (textual analysis). Dewasa ini, kemudian muncul berbagai pendekatan baru yang memberikan peluang bagi tumbuhnya pemahaman (understanding) yang lebih komprehensif terhadap agama Islam.[2]
Menjadi diskursus tersendiri membahas bagaimana seorang cendikiawan muslim kontemporer mengajukan gagasan keilmuan untuk kemajuan umat islam Indonesia, melihat bagaimana konsep sekularisasi dalam Pemikiran Nurcholish Madjid,[3] dalam wacana Nurcholish Madjid terkait Sekularisasi, penulis ingin mendiskusikan wacana yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi,, melihat lokal kultural dari Indonesia serta sosial politik, maka tentunya ada banyak cara pandang masing-masing negara merespon wacana-wacana pembaharuan dalam pemikiran islam seperti melihat studi agama adalah dapat teridentifakasi menjadi fenomenologi agama.
B.  Tanggapan Cendekiawan Muslim Indonesia terhadap Ide Sekularisasi Nurcholish Madjid Pembahasan
1.    Pemikiran Nurcholish Madjid Terkait Sekularisasi
Di Indonesia pemikiran Nurcholish Madjid dikenal sebagai penarik gerbong pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Oleh pengamat Islam kontemporer, gagasannya dianggap sebagai paradigma intelektual gerakan pembaruan teologis di Indonesia.[4] Para intelektual Indonesia dikejutkan oleh Nurcholish dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki yang berjudul “Keharusan Pembaruan dalam Islam dan Masalah Integrasi Ummat”, pada tahun 1970-an, inti dari pidato Nurcholish tersebut adalah kegelisahan intelektual Nurcholish melihat kebuntuan pemikiran umat Islam di Indonesia dan hilangnya kekuatan daya dobrak psikologis dalam perjuangan mereka. Kemandegan itu ia lihat dari bagaimana umat Islam tidak bisa membedakan hal yang bersifat transenden dan temporal. Bahkan umat Islam kadang menempatkan nilai-nilai temporal menjadi nilai transenden, begitupun sebaliknya.[5] Maka solusi yang diinginkan Nurcholish agar pembaruan pemikiran merupakan cara yang harus ditempuh untuk keluar dari statis berpikir tersebut.
Salah satu gagasan yang sering menjadi kritik tersebut adalah ide sekularisasi. Menurut para pengkritiknya bahwa ide sekularisasi dapat menjadi hal yang berbahaya bagi akidah umat Islam karena merupakan gagasan yang berasal dari Barat. Selain itu ide sekularisasi dianggap memisahkan dunia dan akhirat padahal dalam Islam tidak mengenal konsep tersebut. Namun sekularisasi menurut Nurcholish tidak demikian. Ia mengatakan bahwa sekularisasi tidaklah bermaksud sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis. Namun ini dimaksudkan agar umat Islam menduaniawikan hal-hal yang mestinya bersifat duniawi dan melepaskan kecenderungan untuk meng- ukhrawikan-nya.[6]
Ide Sekularisasi Nurcholish Madjid dimulai dari pemahamannya terhadap dua prinsip dasar Islam yaitu prinsip tauhid dan konsep manusia sebagai khalifah. Berangkat dari kedua premis tersebut Nurcholish berargumen bahwa Allah yang harus ditransendenkan dan memiliki kebenaran mutlak. Sebagai konsekuensi dari pemahaman tauhid seperti itu maka umat Islam seharusnya memandang persoalan keduniaan yang temporal (sosial, politik, kultural) seperti apa adanya. Karena memandang segala sesuatu yang ada di dunia dengan cara pandang transenden secara teologis dapat dianggap sebagi sesuatu yang menentang prinsip monoteisme Islam.[7]
Nurcholish Madjid banyak menyampaikan gagasan yang dianggap kontroversial yakni gagasan “sekularisasi”. Dalam makalah pembaruan pemikiran yang disampaikan pada tahun 1970, Konsep ini sebenarnya banyak meminjam istilah dari Harvey Cox seorang teolog berkebangsaan Amerika Serikat yang cukup dihormati. Diskursus magnum opusnya The secular city, Harvey Cox mendefinisikan sekularisasi sebagai pembebasan manusia dari ajaran agama dan metafisika, peralihan perhatiannya dari dunia-dunia lain kepada dunia saat ini. Meski demikian sekularisasi menurut Cox berbeda dengan konsep sekularisme. Menurutnya sekularisme merupakan doktrin dan ideologi yang tertutup dan hampir menjadi kepercayaan dan agama baru. Sedangkan konsep sekularisasi mengimplikasikan sebuah proses kesejarahan. Sehingga sekularisasi pada dasarnya adalah sebuah perkembangan yang mengandaikan pembebasan manusia.[8]
Konsep Sekularisasi Nurcholish Madjid kemudian mendapat kritik keras, sebagian besar kritik itu dipicu karena penggunaan istilah “sekularisasi”. Sejak dekade 1980-an Nurcholish tetap konsisten dengan subtansi gagasan tersebut, meski pada akhirnya Nurcholish Madjid merevisi istilah “sekularisasi” menjadi “desakralisasi” atau “devaluasi radikal”. Pandangan ini dipengaruhi oleh Talcott Parson dan Robert N. Bellah. Menurut Bellah, paham devaluasi radikal mempunyai kaitan dengan proses awal umat Islam. Bahkan lebih lanjut, paham ini merupakan salah satu struktur penting di masa nabi Muhammad ketika beliau membangun masyarakat Madinah. Bellah beranggapan bahwa devaluasi dapat disebut sebagai sekularisasi terhadap semua struktur sosial yang ada dihadapan Tuhan-manusia yang menjadi pusat ini. Diatas segalanya ini berarti dihapuskannya ikatan-ikatan kekerabatan yang sudah lama menjadi lokus utama dari yang sakral di dunia Arab pra-Islam.[9] Nurcholish juga salah satu pemikir Islam modern yang menolak pendapat tentang perlunya menyatukan agama dan negara dalam bentuk hukum positif. Hal ini terlihat ketika pada masa dimana munculnya isu pembentukan negara Islam pada era tahun 70-an. Ketika itu muncul kembali gagasan untuk kembali mewujudkan negara Islam dan kembali ke Piagam Jakarta melalui Masyumi. Pembahasan mengenai hubungan negara dan agama (khususnya Islam) pada saat itu cukup banyak dipersoalkan. Namun Nurcholish yang juga dekat dengan tokoh Masyumi tidak sepakat dengan ide tentang penyatuan negara dan agama. Ia bahkan sering menyebut pihak yang selalu berambisi mencita-citakan negara Islam sebagai orang yang berapologi semata.[10]
2.     
Respon yang dihadirkan  oleh gagasan Nurcholish mengundang reaksi kalangan intelektual muda dan kalangan tua, antara lain Endang Syaifuddin Anshari, Ismail Hasan, dan Abdul Qadir Djaelani dari kalangan muda. Sedangkan dari kalangan tua seperti H.M. Rasyidi, Muhammad Natsir dan Hamka. Misalnya Abdul Qadir Djaelani dari kalangan muda mengatakan bahwa Nurcholish hendak menganjurkan paham sekuler yang bertentangan dengan Islam. Padahal menurutnya Islam tidak sejalan dengan sekularisme tersebut. Endang syaifuddin Ansari (meski dalam beberapa hal sepakat dengan Nurcholish) juga berpendapat bahwa memang di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan konsep negara Islam, akan tetapi mengingkari bahwa al-Qur’an memberikan kaidah tentang kenegaraan merupakan distorsi besar. Endang menanggapi bahwa seolah-olah Nurcholish ingin membuktikan bahwa setiap usaha umat Islam untuk menuju kekuasaan dianggap sebuah dosa besar.[11] Namun sebaliknya Nurcholish  lebih memilih santai dan tidak menanggapi secara serius. Hal itu dilakukan untuk menghindari polemik yang berkepanjangan, belum lagi melihat realitas masih banyak yang tidak bisa memahami ide pembaruan yang digagasnya, terbukti dari banyaknya tanggapan kemarahan dan kecurigaan karena tidak bisa memahami gagasan pembaruan tersebut. Nurcholish bahkan dianggap sudah dianggap melenceng dan murtad, bahkan ada banyak ancaman yang dihadapinya.[12]
Dari pengamatan penulis realitas yang terjadi menunjukkan adanya dinamika internal dari kalangan umat Islam bagaimana menerjemahkan Islam dalam upaya merespon berbagai masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Maksud dan tujuan para pemikir Islam sama, yaitu ingin menunjukkkan kontribusi Islam sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan berbagain persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini. Selain itu, adanya kenyataan dan realita yang memungkinkan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang dapat dikaji dan dilihat dari sisi manapun, dan dari setiap sisi akan menghasilkan pandangan yang berbeda dengan yang lain.
3.    Refleksi Terhadap Gagasan Sekularisasi Nurcholish Madjid (Kasus Hubungan Islam dan Negara)
Dalam artikelnya yang berjudul “rasionalisasi bukan westernisasi”, Nurcholish modernisasi adalah rasionalisasi yang didalamnya terkandung makna kemajuan dan perombakan pola pikir yang maju. Proses modernisasi tersebut menurutnya bisa dimungkinkan dengan syarat penguasaan ilmu pengetahuan. Nurcholish bahkan mengatakan bagi seorang muslim bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, karena pada dasarnya modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah dan sesuai dengan sunnatullah yang haqq. Menjadi modern berarti mengembangkan kemampuan berpikir yang diberikan oleh Tuhan, berpikir dinamis dan progresif. Namun Nurcholish juga menekankan bahwa yang dimaksud modernisasi bukanlah westernisasi atau meniru gaya hidup Barat. Ia hanya sepakat pada aspek spirit dari modernisasi yaitu semangat kemajuan berpikir.[13]
Gagasan Nurcholish tentang modernisasi mengaindaikan beberapa hal termasuk tentang perlunya sekularisasi. Sebagaimana yang sering dijelaskan bahwa sekularisasi tentu bukanlah sekularisme sebagaimana yang menjadi ideologi di Barat. Akan tetapi maksud dari sekularisasi yang dimaksud Nurcholish adalah sebagai bentuk liberalisasi dalam makna pembebasan manusia dari pandangan keliru yang sudah mapan. Dan sekali lagi sekularisasi bukanlah penerapan sekularisme.
Dalam melihat pola hubungan agama dan negara dalam konteks sekarang ini setidaknya ada tiga model pendekatan yakni integrated (penyatuan agama dan negara), intersectional (persinggungan agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan agama dan negara).[14] Di era modern sendiri (khususnya di negara-negara Barat) hubungan agama dan negara dianggap sudah selesai dengan menganut prinsip sekularistik yakni urusan agama dibedakan dengan negara. Sementara di beberapa negara menganut prinsip integralistik dimana agama dan negara tidak dipisahkan satu sama lain. Prinsip tersebut diterapkan di beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia atau Iran. Sedangkan negara yang menganut prinsip integralistik seperti di Indonesia sendiri, meskipun banyak pendapat mengatakan bahwa Indonesia adalah negara sekuler karena secara jelas memisahkan wilayah agama dan negara. Hal itu karena Indonesia sendiri adalah negara yang secara konstitusional tidak menganut penyatuan agama dan negara. Kesepakatan pendiri bangsa ini pada awal pembentukan dengan jelas menghasilkan konsensus tentang dasar negara. Sehingga meskipun melalui proses perdebatan yang begitu panjang, negara dengan tegas dinyatakan bukan negara yang berdasar agama tertentu.
Pandangan tersebut selain terlihat tidak relevan dengan konteks saat ini, juga hal itu dipandang menghabiskan banyak energi. Seperti diketahui bahwa perdebatan tersebut sudah muncul ketika masa awal kemerdekaan dimana terjadi perdebatan sengit antara kubu nasionalis sekuler yang diwakili Soekarno dan nasionalis religius yang diwakili Muhammad Natsir dalam sidang BPUPKI. Namun hasil perdebatan itu diakhiri dengan kesepakatan bahwa negara tidak berdasarkan satu agama tertentu, karena melihat pluralitas yang ada di Indonesia pada saat itu. Selain itu muncul pula ancaman dari berbagai daerah yang mayoritas menganut agama tertentu yang mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia jika negara hanya berdasar satu agama tertentu. Hal-hal tersebut menjadi perhatian bagi tokoh nasional pada saat itu sehingga penetapan dasar negara berdasar pluralitas yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 terwujud.[15]
Sekularisasi menurut Nurcholish Madjid pada dasarnya tidak sama dengan konsep sekularisme, tapi dalam hal ini sekularisasi yang dimaksud adalah bentuk liberating depelompent dan proses pembebasan. Hal ini dibutuhkan umat Islam karena dalam perkembangannya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami mana yang tansenden mana yang temporal. Demikian juga sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis. Tapi menduniawikan hal yang sifatnya duniawi dan melepaskan Islam dari kecenderungan mengukhrawikannya.
Ide sekularisasi Nurcholish sebenarnya ditujukan untuk merespon persoalan politik Indonesia pada tahun 1970-an. Hal ini utamanya karena umat Islam tidak lagi mampu membedakan mana urusan agama dan negara. Sebagian elit politik saat itu kembali menggagas ide pembentukan negara Islam yang menurut Nurcholish, gagasan negara Islam merupakan sebuah bentuk apologi umat Islam dalam menghadapi ideologi Barat seperti Demokrasi, Sosialisme, Komunisme, Liberalisme dan lain-lain. Ideologi tersebut mempunyai pengaruh sedemikian besar di berbagai negara sehingga umat Islam merasa khawatir dan melakukan counter terhadap ideologi tersebut dengan menawarkan alternatif “negara Islam” meskipun secara konseptual masih abstrak. Menurutnya cita- cita negara Islam tidak ada dalam Al-Qur’an atau Hadis secara konkrit, namun hanya penjelasan tentang bagaimana nilai-nilai Islam harus dijalankan. Ia kemudian menekankan perlunya rasionalisasi khususnya dalam pengambilan keputusan yang bersifat konsensus-kenegaraan.
Indonesia sendiri, bagaimana wajah pemikiran Islam dapat dilihat dari karya-karya Harun Nasution yang banyak menggunakan pendekatan filsafat dan Historis. Apa yang digambarkan oleh Harun Nasution dikritik oleh H.M. Rasyidi dengan pendekatan normatif legalistik, Islam dinilai kurang menunjukkan potret Islam yang sesungguhnya dan yang sebenarnya sebagaimana yang diinginkan oleh al-Qur`an dan Hadis. Kemudian muncul studi Islam versi Nurcholis Majid, dan versi Endang Saefuddin, dan masih banyak pemikir-pemikir yang lain. Pada tahuhn 1993, Nurcholish Madjid dicela sebagai a Teosofis, agen Zionisme dan sekutu Orientalisme, seorang murtad, merupakan musuh Islam yang berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Oleh karena itu ia harus dikeluarkan dari komunias Islam.[16]  Sehingga pada dasarnya menurut hemat penulis bahwa yang dihadapi oleh Nurcholish Madjid dengan banyaknya kritikan dari para sarjana Muslim dengan menggunakan berbagai pendekatan tersebut dapat digunakan sebagai bahan untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak untuk diperdebatkan apalagi untuk saling menyalahkan antara yang satu dengan yang lainnya, melainkan untuk menemukan sisi-sisi persamaannya demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia pada umumnya dan untuk keperluan dan kepentingan studi Islam khususnya.
Dari berbagai referensi tentang Islam yang ditulis oleh para sarjana dan pengkaji Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam memiliki karakteristik yang khas yang memungkinkann untuk dikenali melalui konsepsinya dalam berbagai bidang, seperti bidang agama, ibadah, kemanusiaan yang di dalamnya mencakup bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup kesehatan, pekerjaan, dan Islam sebagai sebuah disiplin keilmuan.[17]
Dalam hal ini penulis menyepakati bahwa fenomena masalah yang diantarkan oleh Nurcholish Madjid memperkuat apa yang disampaikan oleh Amin Abdullah bahwa studi Islam pada abad 11-12 dilakukan dengan pendekatan Fiqih, Kalam, Filsafat, Tasawuf. Pada abad 19-20 studi Islam dihubungkan dengan Religious Studies, Humanities, dan Social Studies dengan menggunakan pendekatan psikologi, historis, dan fenomenologi. Kemudian, ia lebih lanjut menggambarkan bahwa pola keragaman masyarakat bila diamati mencerminkan hal-hal sebagai berikut, yaitu pola keberagamaan yang sehat dengan optimis, ekstovet, dan gradual serta pola keberagamaan yang sakit dengan ciri pesimis, merasa tersaingi, introver (menutup diri), dan instan. Oleh karena itu, pemahaman (vestehen) agama harus mengacu pada dua sisi. Pertama, The comprehenship of Ideas, Intuition, and Feeling of People yang akan menggambarkan The Common Pattern and The Universal of Human Religiousity (universal dan filosofis). Kedua, The Emperical Manifestation of Culture yang akan menggambarkan The Unique Pattern, The Particular way of Human Religiousness (Historical-Empirical-Autonomy).[18]
4.    Diskursus Fenomenologi Agama
 Terhitung dari perkembangan dalam studi Islam dan problem metodologis, maka studi Islam harus mempertimbangkan pendekatan baru yang memungkinkan munculnya pemahaman yang lebih komprehensif terhadap Islam. Melihat agama Islam dikaji dengan meletakkannya pada posisi hasil pemikiran ulama dan dilihatnya secara interdisipliner, maka apa yang disampaikan Atho Mudzhar, dengan gejala budaya dan sosial yang pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama.[19] Maka pengunaan teori-teori ilmu sosial dan kemanusiaan dalam kajian Islam menjadi keniscayaan untuk menghasilkan model atau konstruk pemikiran keislaman yang sesuai dengan perkembangan kontemporer ilmu pengetahuan.
Khun menjelaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif tetapi secara revolusi. Menurutnya, ketika kumulatif memainkan peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting dalam ilmu pengetahuan itu terjadi sebagai akibat dari revolusi yang ia gambarkan sebagai berikut:
Paradigm I Normal Sc AnomalieCrisis Revolotion Paradigm.[20] Inilah yang mungkin dapat disebut sebagai perlunya pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam studi Islam.
Perlunya pergeseran atau perubahan paradigma didasarkan pada fakta bahwa pendekatan ilmu keislaman tradisional tidak cukup mampu untuk menggambarkan dinamika keimanan dan ekspresi kultural keagamaan dan intelektual Islam. Pembacaan terhadap tradisi keagamaan yang sangat dinamais dan kompleks membutuhkan perangkat-perangkat konseptual dan teoritis dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Lebih-lebih dalam manifestasi Islam tidak hanya dalam potret pada teks suci, tetapi juga pada simbul- simbul yang diproduksi dan direproduksi terus menerus oleh kaum Muslim.
Namun, dengan adanya kesadaran untuk memahami tradisi sendiri atau tradisi orang lain secara empatik, perubahan paradigma tersebut niscaya akan menghasilkan konvergensi epistemologis. Meskipun hal ini sulit untuk dicapai, karena akan cenderung memunculkan sebuah epistemologi yang lebih dominan, maka setidak-tidaknya kesadaran baru itu akan menghasilkan dialog secara dialektis dan gerak melingkar (circular movement) antara berbagai paradigma, epistemologi, teori atau pendekatan yang selama ini berkembang dalam tradisi keilmuan kontemporer.[21]
Pendekatan histroris dan filososfis saja tidak memadai, karenanya para sarjana menawarkan untuk mengkaji agama secara substansional suatu pendekatan yang memungkinkan agama menunjukkan ekspresi otentiknya tanpa intervensi nilai-nilai personal dari para sarjana peneliti agama.[22] Hal inilah yang mendorong tumbuhnya pendekatan baru dalam studi agama-agama, termasuk Islam, yaitu pendekatan fenomenologi.
Fenomenologi agama, dengan penekanannya pada pengalaman religius, mengenali makhluk religius tidaklah serupa dengan belajar agama. Ada yang lebih dulu, utama, atau tingkat mendasar tentang pengalaman religius bagi yang percaya religius. Fenomenologi dan pendekatan ilmiah lainnya selalu melibatkan beberapa perbedaan antara sarjana dan subjek materi penting bagi refleksi kritis, analisis, interpretasi, dan mencoba melakukan verifikasi penemuan. Ilmuwan tidak sependapat atas hubungan antara menjadi religius dan belajar agama. Bagaimanapun, semua setuju bahwa studi ilmiah itu tidaklah serupa dengan menjadi religius atau mempunyai kenikmatan pengalaman religius.
Para sarjana sudah mencoba untuk menghimpun data religius dan menginterpretasikan makna gejala religius selama beribu-ribu tahun. Hal ini muncul dari ekspose gejala religius baru dari ekspedisi penjelajah, militer dan penaklukan politik, pekerjaan misionaris religius, dan eksplorasi ekonomi. Studi lebih awal pada umumnya terbebtuk oleh self-serving, apologetic, religius, politis, dan asumsi ekonomi dan penilaian. Komparatif agama sering menjadi agama kompetitif di mana para sarjana belajar tentang orang lain dalam rangka demonsrasi superioritas kultur atau agama mereka sendiri. Para ilmuwan jarang mencoba untuk memahami agama melalui mata orang lain. Dari perspektif fenomenologi agama, studi ilmiah awal tidak berbuat keseimbangan terhadap gejala religius dari religius lain.[23] Sedangkan fenomenologi dan fenomenologi agama lebih luas, lebih self-critical, lebih shophisticated dalam mengenali kompleksitas, ambiguitas, dan kedalaman model yang berbeda dari apa yang diberikan. Fenomenologi jauh lebih sensitif terhadap yang kompleks, penengah, interaktif, kontektual sesuai dengan situasi tugas fenomenologi. Allen menggambarkan lima karakteristik fenomenologi filosofis sebagai berikut:
a) Descriptive Nature
Fenomenologi mengarahkan untuk menjadi ketat, ilmu pengetahuan deskriptif, disiplin, atau pendekatan. Semboyan fenomenologis ‘Zu den Sachen!’ (kepada diri mereka sendiri ) menyatakan penentuan untuk menolak teori filosofis dan konsep intuisi dan diskripsi langsung tentang gejala penampakan pengalaman langsung. Fenomenologi mencoba untuk menguraikan alam fenomena, cara penampakan manifestasi mereka, dan struktur esensi pada pondasi bagi pengalaman manusia. Sebagai bandingan aliran filosofis, yang mempunyai asumsi bahwa rasional adalah riel dan yang mempunyai suatu keasyikan filosofis dengan rasional pancaindra dan dengan konseptual analisis, fenomenologi memusatkan perhatiannya pada akurasi deskripsi total tentang manifestasi dalam pengalaman manusia. Fenomenologi deskriptif, mencoba untuk menghindari reduksionism dan memusatkan pada epoche fenomenologis, mendeskripsikan keanekaragaman, kompleksitas, dan kesempurnaan pengalaman.
b) Antireductionism.
Antireduksionism fenomenologis berkaitan dengan pembebasan manusia dari dugaan tanpa dikritisi yang menyadarkan mereka akan spesifikasi dan keaneka ragaman gejala, dengan begitu membiarkan mereka untuk berfikir luas dan memperdalam pengalaman langsung dan menyediakan deskripsi yang lebih tentang pengalaman. Hasserl menyerang berbagai format reduksionism, seperti psikologism, yang mencoba untuk memperoleh hukum logika dari hukum psikologis dan, yang sangat luas, untuk mereduksi semua gejala ke fenomena psikilogis. Dalam menentang penyederhanaan yang berlebihan tentang empirism tradisional dan bentuk reduksionism lain, fenomenolog bertujuan untuk menghubungkan keyakinan dengan fenomena sebagai fenomena dan menjadi sadar akan gejala yang mengungkapkan intentionalitas secara utuh.
c)  Intentionality
Subjek selalu inten terhadap obyek, dan intensionalitas mengacu pada properti kesadaran akan kesadaran sesuatu, obyek intensional. Bagi Hasserl, yang mengadopsi term dari gurunya Franz Brentano, intensionalitas adalah suatu cara untuk menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Dalam rangka mengidentifikasi, menguraikan, dan menginterpretasikan arti dari gejala, fenomenolog harus memperhatikan struktur intensioanal data mereka; kepada struktur intensional tentang kesadaran dengan referen-referen dan makna yang diharapkan.
d)  Bracketing.
Bagi kalangan fenomenolog, antireduksionis menegaskan atas dasar ireducibility pengalaman yang mereka alami langsung memerlukan adopsi phenomenological epoche. Term Yunani ini secara harfiah berarti “abstain” atau “suspension” penilaian dan sering digambarkan sebagai suatu metoda bracketing (mengurung). Hanya dengan bracketing penerimaan “natural world” tanpa diuji, bahwa fenomenolog tidak menyadari fenomena, dengan penggantungan kepercayaan dan penilaian yang tidak didasarkan pada natural standpoint yang belum diuji. Oleh karena itu, fenomenolog bisa merasakan pengalaman langsung dan memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap esensi struktur mereka. Kadang-kadang epoche dirumuskan dalam term tujuan ilmu pengetahuan tanpa presupposisi atau filsafat, tetapi fenomenolog menginterpretasikan bracketing sebagai tujuan pembebasan fenomenolog dari dugaan yang belum diuji, atau memberi penjelasan eksplisit dan klarifikasi presupposisi, dibanding dengan dugaan pengalaman mereka. Epoche fenomenologis tidak sekedar seperti yang dilakukan oleh fenomenolog, ia harus melibatkan beberapa metoda self-criticism dan intersubjective untuk menguji dengan membiarkan pengertian yang mendalam kedalam struktur dan makna.
e)   Eidetic Vision
Intuisi esensi, sering diuraikan sebagai visi eidetic atau reduksi eidetic, hal ini terkait dengan term ‘eidos’, Husserl mengadopsi dari Platonis yang berarti untuk mengangkat esensi universal. Sebagaimana ekspresi esensi “whatness” tentang sesuatu perlu invarian yang memungkinkan untuk mengenali fenomena sebagai bentuk fenomena tertentu.
Karena perbedaan mereka, mayoritas fenomenolog menegaskan fenomenologi adalah antireductionist, melibatkan bracketing fenomenologis, memusatkan pada intensionalitas, dan mengarahkan menuju pengertian yang mendalam terhadap makna dan struktur yang esensi. Berikut adalah suatu formulasi ringkas prosedur fenomenologis untuk memperoleh pengertian yang mendalam tentang sruktur dan makna yang esensi.
Dalam intuisi esensi (wesensschau), fenomenolog memulai dengan data tertentu, fenomena spisifik sebagai ekspresi pengalaman intentitas. Tujuan pokok metode fenomenologis untuk mengungkap struktur esensi yang terbentuk dalam data partikular.
Satu keuntungan dengan metode varian bebas adalah mendapatkan pengertian yang mendalam. Setelah mengumpulkan berbagai fenomena tertentu, fenomenolog meneliti mencari core invarian yang mendasari makna fenomena. Fenomena membentuk proses varian bebas, asumsi format tertentu yang mempertimbangkan aksidental atau irressensial dengan perasaan bahwa fenomenolog dalam berfikir di luar yang dibatasi format tanpa mengabaikan karakter dasar atau intensionalitas data tertentu. Sebagai contoh, varian dari varian yang besar tentang fenomena religius bisa mengunkap bahwa struktur monotheism yang unik tidak berdasar pada core esensi atau struktur universal dari semua pengalaman religius.
Fenomenolog secara bertahap melihat bahwa fenomena mengasumsikan format yang dianggap sebagai hal penting dalam pengertian bahwa seseorang tidak bisa mengeluarkan atau memindahkan struktur tanpa menggambarkan dasar ‘whatness’ atau intensionalitas data. Sebagai contoh, varian bebas akan dapat mengungkapkan bahwa struktur intensionalitas transenden tertentu berdasarkan pada core invariasi dari pengalaman religius. Ketika esensi universal diserap, fenomenolog memperoleh eidetic atau wessenschau yang utuh. Kalangan fenomenolog yang menggunakan metode wessenschau mengajukan pandangan bahwa fenomena historis mempunyai prioritas, bahwa seseorang harus mengganti varian imajinasi Husserl sebagai varian yang aktual dari data historis, dan  fenomena partikular tidak tersusun dari individu melainkan merupakan sumber konstitusi dan penilaian seseorang. Mayoritas fenomenolog filosofis tidak memfokuskan pada fenomena religius, tetapi bahan fenomenologi filosofis dan dalam beberapa hal, metodologi ini, mempunyai pengaruh besar terhadap
5.    Karakteristik Fenomenologi Agama
Allen mendeskripsikan sembilan karakteristik fenomenologi agama sebagai berikut:[24]
a.    Comparative and Systematic Approach
Ada kesepakatan mendalam bahwa fenomenologi agama bersifat sangat jeneral, pendekatan komparatif menekankan klasifikasi dan membentuk sistem fenomena agama. Para fenomenolog mampu mendapatkan kesadaran yang membentuk struktur dan makna esensi hanya setelah mengkomparasikan sejumlah dokumen yang menggambarkan penyimpangan fenomena religius.
b.    Emperical Approach
Bleeker, Eliade, dan beberapa fenomenolog agama menegaskan bahwa mereka memakai pendekatan empiris yang bebas dari asumsi dan penilaian a priori. Sebagai contoh pendekatan empiris, selalu mendeskripsikan secara ilmiah dan objektif yang berangkat dari koleksi dokumen-dokumen keagamaan dan kemudian mendeskripsikan secara benar apa yang dilahirkan oleh data empiris.
Salah satu akibat yang sering muncul dari fenomenologi agama adalah hal itu tidak dibangun atas dasar empiris, oleh karena itu bersifat abritare, subjektif, tidak ilmiah. Ada kritikan yang secara tegas menyatakan bahwa makna dan struktur universal tidak ditemukan dalam data empiris, oleh karena penemuan-penemuan fenomenologi tidak tunduk pada test empiris verifikasi.
c.    Historical Approach
Fenomenologi agama selalu menekankan tidak hanya pada pendekatan yang harus menyatu dan mendukung riset historis tetapi juga bahwa fenomenologi agama adalah historis secara mendalam seluruh data keagamaan bersifat historis; tidak ada fenomena yang difahami diluar historis mereka. Fenomenolog harus sadar terhadap spisifikasi historis, kultur, keadaan sosioekonomik dimana fenomena keagamaan muncul.
Ada kritikan pedas bahwa fenomenologi agama tidak historis, kedua term metode fenomenologis yang mengabaikan historis spisifik dan kontek kultural dengan memandang sumber primer - secara metodologis dan juga ontologis - semestinya berpengaruh pada nonhistoris dan struktur universal nontemporal.
d.    Descriptive Approach.
Mayoritas fenomenolog agama dewasa ini tidak membatasi dirinya hanya untuk mendeskripsikan fenomena agama. Namun penganut Kristen menekankan pada alam subjektif sarjana masa lalu dimana interpreter menyaring data lewat asumsi dan penilaian mereka, fenomenolog berpandangan jauh diluar batas metodologi deskriptif fenomenologis.
Akan tetapi, kesamaan fenomenolog yang tidak berubah dalam mengklasifikasi disiplin dan pendekatan mereka tentang deskripsi fenomenologi agama. Mereka mengklaim bahwa penggunan pendekatan deskriptif dan pandangan klasifikasi mereka, tipologi, dan struktur sebagai deskriptif. Ada kalanya para fenomenolog agama membedakan koleksi dan deskripsi data agama sebagai objektif dan ilmiah, dari interpretasi makna, paling tidak berupa subjektif dan normatif parsial.
e.    Antireduksionis
Fenomenolog menentang reduksionis yang enggan melakukan kritik prakonsepsi dan penilaian fenomena yang tidak diuji, dalam rangka menghubungkan fenomena sederhana sebagai fenomena dan memberikan deskripsi yang lebih akurat terhadap penilaian di mana fenomena itu muncul.
Melebihi berbagai macam pendekatan yang lain, tentang studi agama modern, fenomenolog agama menegaskan bahwa pendekatan infestigasi data agama sebagai fenomena merupakan kehidupan agama yang fundamental dan tidak dapat dijabarkan. Otto Eliade dan kelompoknya mempertahankan antireduksionis secara tegas dengan melakukan kritikan terhadap pendekatan reduksionis terdahulu. Para fenomenolog, mengkritik reduksi data agama terhadap keterkaitan perspektif nonreligius, seperti sosiologi, psikologi, atau ekonomi. Sebagai reduksionis berargumentasi menghapus spisifikasi, kompleksitas, dan intensionalitas fenomena agama yang tidak bisa dijabarkan. Upaya keras untuk memahami secara simpati pengalaman orang lain, fenomenolog harus menghargai intensionalitas kehidupan agama yang orijinal yang tergambar dalam data.
f.      Autonomy
Hubungan langsung terhadap klaim antireduksionis tentang irreduciblity religious dalam identifikasi fenomenologi agama sebagai disiplin dan pendekatan yang otonom. Bila mana ada model irreducible yang dibentuk oleh fenomena religius, seseorang harus menggunakan metode pemahaman khusus yang menjamin alam religius sebagai subjek matter. Seseorang harus melengkapi interpretasi religius irreducible dari fenomena religius.
Fenomenologi agama adalah otonom tetapi tidak self-sufficient. Ia sangat tergantung pada riset historis dan data yang tersedia dalam filologi, etnologi, psikologi, sosiologi, dan pendekatan lain. Tetapi ia harus selalu mengintegrasikan kontribusi pendekatan lain dalam perspektif fenomenologis yang unik.
g.    Intentionality
Fenomenologi menganalisis tindakan sadar sebagai kesadaran sesuatu dan mengakui bahwa makna itu diberikan dalam intensionalitas struktur. Untuk mengindentifikasi, mendeskripsi, dan menginterpretasi makna fenomena religius, ilmuwan harus memperhatikan struktur intensional data mereka. Bagi Otto, struktur a priori kesadaran religius merupakan kesadaran tentang nominous object yang diharapkan. Teknik terminologis-psikologis dialek suci Van der Leeuw dan Eliade merupakan metode untuk menangkap karakteristik manifestasi religius.
Kritikan disampaikan oleh fenomenolog agama dari pendekatan reduksionis yang tidak melibatkan intensionalitas fenomena agama yang unik. Pengalaman religius mengungkap struktur transenden dimana manusia membuktikan referen yang transenden, makna suci meta empiris supranatural. Bahasa religius memberi poin sendiri di luar struktur suci dan makna yang melebihi ruang normal, historis, katagoris, dan analisis yang konseptual. Hal itu adalah kenapa ekspresi religius menjadi simbul yang tinggi, analogis, metaforis, mistis, allegoris.
Dalam waktu yang sama, tidak ada referen dan makna intensional yang tidak bisa ditengahi. Intensionalitas selalu historis, berdasarkan kultur, dan konteks linguistik. Pengalaman dan komunikasi religius yang penuh makna, referen transenden yang diperlukan harus ditengahi dan dibawa ke dalam hubungan antar manusia yang integral dengan ruang yang terbatas, temporal, historis, alam kultural dengan objek dan makna yang dikehendaki. Inilah alasan kenapa simbolis dalam kompleks, struktur dan fungsi yang berbeda, adalah penting untuk pernyataan, pembentukan, komunikasi makna religius intensional. Ungkapan yang diharapkan simbolis bertindak sebagai jembatan yang dibutuhkan untuk menengahi. Pada satu sisi, fenomenolog selalu menunjuk referen di luar diri mereka untuk memperoleh makna transenden. Pada sisi lain, dengan bahasa simbolis untuk menggambarkan ruang, temporal, natural, dunia historis dari pengalaman mereka mengenai referen transenden, batasan, manifestasi suci, untuk mengungkap yang transenden sebagai immanen, memandang suci secara manusiawi dapat diakses dan dihubungkan dengan situasi eksistensial partikular.
Intensionalitas religius yang spisifik memastikan bahwa struktur pengalaman religius, sebaik baik interpretasi dan pemahaman, akan selalu terbuka (open-ended). Kondisi struktur esensi dari pengalaman religius, kontruksi teks religius, dan formulasi interpretasi ilmiah memastikan bahwa pemahaman pengalaman manusia yang penuh makna perlu diungkap dalam perspektif intensionalitas terbatas. Sebagai relatif, kondisional, intensional, prespektif religius selalu merujuk kepada kondisi luar mereka kepada struktur transenden, kemungkinan yang tidak terbatas untuk mengungkap ekspresi simbolis, untuk membuka prespektif tertutup, penemuan baru, kreatif, pengalaman self- transending, interpretasi dan pemahaman.
h.    Epoche, Empathy, and Sympathetic Understanding
Dengan mengurung dan menggantungkan asumsi yang belum diuji dan prakonsepsi, serta penilaian ordinari, kita menjadi lebih memperhatikan hanya kepada penemuan yang lengkap tentang apa manifestasi itu dan bagaimana bentuk manifestasi itu. Hal ini memungkinkan akan munculnya kesadaran dari ekspresi fenomena berdasarkan perspektif, emmotif, imaginatif, level nonkonseptual dari pengalaman intensional, dengan demikian mengarah kepada makna baru yang mendalam menuju intensionalitas spisifik capaian pengalaman yang kongkrit.
Epoche fenomenologis, suatu penekanan empati dan pemahaman simpatik, adalah berhubungan dengan antireduksionis metodologis. Dengan menggantungkan semua praduga pribadi tentang apa itu riel dan penekanan pada irredusibilitas religius, fenomenolog mencoba dengan simpatik untuk menempatkan diri mereka dalam life-world religius dari yang lain untuk menyerap makna religius dari fenomena pengalaman.
i.      Insight Into Essential Structures and Meaning
Tidak ada subjek matter yang lebih terpusat ke fenomenologi filosofis dibandingkan analisis reduksi eidetic dan visi eidetic, intuisi esensi, metode variasi bebas, dan teknik lain untuk mencapai pengertian yang mendalam tentang struktur dan makna esensi dari fenomena. Sebagai pembanding, fenomenologi agama, bahkan dalam pengertian spisifik dari pendekatan yang terkait dengan deskripsi struktur dan makna esensi, selalu menghindari formulasi metodologis. Secara umum ditemukan bahwa fenomenolog agama kualifikasi Bleeker bahwa term eidetic vision dipakai hanya dalam makna figurasi dan mengingatkan bahwa fenomenologi agama tidak mencapai pertanyaan filosofis metodologis. Hasilnya adalah munculnya tipologi fenomenologis, struktur universal, dan makna esensi yang kekuranggannya adalah analisis yang kaku bagaimana fenomenolog hadir untuk membuktikan fenomena itu.
Fenomenolog mengarahkan ke dalam intuisi, interpretasi, dan deskripsi esensi dari fenomena religius, tetapi ada perbedaan yang pantas dipertanyakan apa yang membentuk struktur yang esensi.
Bagi sebagian fenomenolog, struktur esensi adalah hasil dari generalisasi induktif empiris yang menyatakan sesuatu properti bahwa fenomena yang berbeda mempunyai kesamaan (Gutland, 2018). Dalam pengertian terdekat ke fenomenologi filosofis, esensi mengacu pada kedalaman atau struktur tersembunyi, yang tidak nampak pada level pengalaman langsung dan harus diungkap serta dienterpretasi lewat metode fenomenologi. Struktur ini menjelaskan invarian yang perlu dibiarkan sehingga memungkinkan untuk menjelaskan fenomena religius dan untuk menyerap fenomena religius sebagai fenomena bentuk tertentu
KESIMPULAN
Sekularisasi menurut Nurcholish Madjid pada dasarnya tidak sama dengan konsep sekularisme, tapi dalam hal ini sekularisasi yang dimaksud ialah bentuk liberating depelompent dan proses pembebasan. Hal ini diperlukan umat Islam karena dalam perkembangannya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami mana yang tansenden mana yang temporal. Demikian juga sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis. Tapi menduniawikan hal yang sifatnya duniawi dan melepaskan Islam dari kecenderungan meng-ukhrawi-kannya.
Kemudian yang dihadapi oleh Nurcholish Madjid dengan banyaknya kritikan dari para sarjana Muslim dengan menggunakan berbagai pendekatan tersebut dapat digunakan sebagai bahan untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak untuk diperdebatkan apalagi untuk saling menyalahkan antara yang satu dengan yang lainnya, melainkan untuk menemukan sisi-sisi persamaannya demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia pada umumnya dan untuk keperluan dan kepentingan studi Islam khususnya.
Pendekatan fenomenologi dan fenomenologi agama diharapkan bisa lebih luas, lebih self-critical, lebih shophisticated dalam mengenali kompleksitas, ambiguitas, dan kedalaman model yang berbeda dari apa yang diberikan, jauh lebih sensitif terhadap yang kompleks, penengah, interaktif, kontektual sesuai dengan situasi tugas fenomenologis.
Harapan tersebut didasarkan pada karakteristik fenomenologi. Fenomenologi filosofis mempunyai karakteristik yang bersifat deskriptif (descriptive in nature), antireduksionis (antireducsionism), bertujuan tertentu (intentionality), mengurung (bracketing), dan eidetic vision. Sedangkan fenomenologi agama mempunyai karakteristik yang menggunakan pendekatan komparatif dan sistematik (comparative and systematic approach), pendekatan empiris (empicical approach), pendekatan kesejarahan (historical approach), pendekatan deskriptif (descriptive approach), antireduksionis (antireductionism), otonom (autonomy), bertujuan tertentu (intentionality), abstain (epoche), empati (empathy), and pemahanan yang sistematis (systematic understanding), dan wawasan terhadap struktur dan makna penting (insight into essential structures and meanings)


BIBLIOGRAFI
A, Nata. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers., 2016.
Abaza, Mona. “Two Intellectuals: The Malaysian S.N. Al-Attas and the Egyptian Mohammed ’Immara, and the Islamization of Knowledge Debate.” Source: Asian Journal of Social Science and SPECIAL FOCUS: The Internet and Social Change in Asia and Beyond Vol. 30, No. 2, (2002): 354–83.
Abdullah. Al-Ta ’wil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma. Penafsiran Kitab Suci. Al- Jam’ah, 2001.
Abdullah, Amin. Materi Kuliah Metodologi Studi Islam, 2006.
Allen. Phenomenology of Religion, t.t.
Anwar, M. Syafi. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995.
Cox, Harvey. The secular city. New York: The Macmillan Company, 1966.
Dhavamony, M. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kansius, 1995.
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia,. Jakarta: Paramadina, 1998.
Heri, M. Pengembangan Studi Islam Insider Outsider. Intizar, 22(2), 2016.
Hinnells, J. R. The Routledge Companion to the Study of Religion,. Great Britain: Routledge, t.t.
Mona Abaza. “Intellectuals, Power and Islam in Malaysia : S.N. al-Attas or the Beacon on the Crest of a Hill.” In: Archipel and L’horizon nousantarien. Mélanges en hommage à Denys Lombard volume 58 and  (Volume III) (1999): 189–217.
Mudzhar. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Nurcholish, Madjid. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Jakarta: Paramadina, 1998.
Prinsip tauhid Nurcholish ini banyak dipengaruhi ketika ia berkunjung ke Saudi yang  berpaham teologi wahabi. Menurutnya orientasi umat Islam pada wahabi sangat semangat dalam melakukan pemurnian sehingga tidakk ada sesuatu yang sakral selain Allah., t.t.
Ritzer, G. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,. Terj. Alimandan. Jakarta : PT Raja Grafindo, 2004.
Sholeh, F. “Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Islam.” Jurnal Qolamuna No 1(2) (2016): 352.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Syafi’I Maarif, Ahmad. Islam dan Pancasila Sebagai Asas Negara. Jakarta: LP3ES, 1998.
Woodward, M. “Islamic And Religious Studies: Challenges and Opportunities for Twenty-First Century Indonesia.” Journal of Indoenesian Islam No 1, 7. (2009).




[1] M Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kansius, 1995), 5.
[2] M Heri, Pengembangan Studi Islam Insider Outsider (Intizar, 22(2), 2016), 201.
[3] Madjid Nurcholish, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Jakarta: Paramadina, 1998), 122.
[4] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), 21.
[5] Effendi, 137.
[6] Nurcholish, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, 122.
[7] Prinsip tauhid Nurcholish ini banyak dipengaruhi ketika ia berkunjung ke Saudi yang  berpaham teologi wahabi. Menurutnya orientasi umat Islam pada wahabi sangat semangat dalam melakukan pemurnian sehingga tidakk ada sesuatu yang sakral selain Allah., t.t.
[8] Harvey Cox, The secular city (New York: The Macmillan Company, 1966), 7.
[9] Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, 34.
[10] M. Syafi Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), 56.
[11] Anwar, 51.
[12] Anwar, 65.
[13] Anwar, 42.
[14] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 2.
[15] Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Asas Negara (Jakarta: LP3ES, 1998), 56.
[16] M Woodward, “Islamic And Religious Studies: Challenges and Opportunities for Twenty-First Century Indonesia.,” Journal of Indoenesian Islam No 1, 7. (2009): 7.
[17] Nata A, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers., 2016), 79.
[18] Amin Abdullah, Materi Kuliah Metodologi Studi Islam, 2006.
[19] Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 16.
[20] G Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Terj. Alimandan. Jakarta : PT Raja Grafindo, 2004), 4.
[21] Abdullah, Al-Ta ’wil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma (Penafsiran Kitab Suci. Al- Jam’ah, 2001), 39(2), 359–391.
[22] F Sholeh, “Penerapan Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Islam,” Jurnal Qolamuna No 1(2) (2016): 352.
[23] Hinnells, J. R., The Routledge Companion to the Study of Religion, (Great Britain: Routledge, t.t.), 186–187.
[24] Allen, Phenomenology of Religion, t.t., 196–97.